Sabtu, 25 September 2010

Menteri BUMN Siap Jalankan Pesan SBY

Oleh: Harian Republika

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pemangku jabatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), agar menjauhi tiga penyakit berbahaya. Pertama, BUMN serakah dalam menjalankan bisnisnya. Kedua, BUMN dijadikan sapi perah. Ketiga, BUMN dijadikan bancakan.

Menaggapi pesan presiden tersebut, Menteri BUMN Mustafa Abubakar menganggapnya sebagai pesan yang arif dan bijaksana. Dia menilai pesan itu patut dilaksanakan di lingkup Kementerian BUMN.
"Pesan itu harus diikuti. Itu pesan yang arif dan bijaksana," ujar Mustafa saat ditemui dalam Indonesia Business-BUMN Expo and Conference (IBBEX) 2010 di Jakarta, Kamis (23/9).

Dikatakan Mustafa, pihaknya selama ini memang sudah menerapkan prinsip pemerintahan yang bersih dan transparan. Sehingga, lanjutnya, BUMN tidak akan seperti sapi perah ataupun bancakan. "Kita lakuakan clean governance. Mulai dari penyerahan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) sampai gratifikasi. Jadi, sekarang ini semuanya serba transparan. Pesan presiden itu hanya sebagai warning," ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menambahkan arahan Presiden SBY untuk mewujudkan BUMN sebagai World Class Company agar ditindaklanjuti. Dia meminta semua pihak turut menjaga BUMN agar tidak lagi menjadi sapi perah, tempat bancakan banyak pihak, dan harus zero coruption. "Hal tersebut hanya bisa diwujudkan jika semua pihak ikut menjaga pihak-pihak tertentu yang ingin mengganggu BUMN," tegas Said.

Ulasan:

Penyakit yang banyak terjadi adalah bancakan atau pungutan liar. Peneliti pada KPPOD Jakarta, mengatakan maraknya pungutan liar atau bancakan di daerah, menjadi keprihatinan pelaku usaha. Dampaknya, pungli secara nyata menjadi penyakit yang menggerogoti kesehatan iklim investasi.

Akibatnya mulai serba tak pastinya perhitungan bisnis, banyaknya opportunity lost di lapangan, dan terancamnya keamanan lingkungan usaha. Pengusaha pun menanggung tambahan biaya operasional cukup signifikan, sebesar 7%.

Hasil survei KPPOD menunjukkan bahwa pungli di daerah (225 kabupaten/kota) melibatkan banyak pihak dan sungguh berdampak serius. Hampir separuh responden (n=8.727 pelaku usaha) mengakui pihak birokrasi sebagai aktor utama, disusul organisasi masyarakat/kepemudaan (19%), aparat keamanan (11%), dan preman jalanan (8%).

Menurut Robert, peneliti pada KPPOD Jakarta, dalam jenis pungutan legal (diatur perda dan masuk ke kas daerah), rezim pungutan berarti aturan main dari tugas pelayanan publik tak lain sekadar fungsi dari perhitungan pajak/retribusi. Pelayanan hanya akan diberikan jika ada potensi pungutanya.

Tak heran, pemda bernafsu merebut berbagai urusan yang potensial bagi pendapatan mereka, dan menghindari urusan di sektor dasar (kesehatan, pendidikan, dan prasarana primer) yang biasanya 'kering'. Bahkan lebih buruk lagi, dalam rezim pungutan legal ini, pelayanan bahkan tidak saja mesti bermotivasi pungutan, tetapi pelayanan itu sendiri adalah pungutan.

Selepas izin keluar, permainan lalu berlanjut ke lapangan. Di tahap ini, pelaku usaha kembali memasuki pasar gelap yang menular ke jalanan, dari yang berlagak halus (aparat keamanan dan ormas kepemudaan) sampai yang bertingkah kasar (preman).

Mereka banyak terdapat di bisnis-bisnis berbasis lahan luas (perkebunan), menguasai jalan yang dilewati truk-truk bermuatan besar (kasus lintasan Sumatera), atau mengangkat dirinya sebagai tenaga bongkar muat di berbagai lokasi industri.

Hal tersebutlah yang harus diperbaiki oleh BUMN sampai kepada pemerintah daerah. Anggota Komisi III DPR, Aditya Anugrah Moha meminta adanya pembenahan yang lebih terarah dari semua steakholder, khususnya BUMN. Menurut beliau, “BUMN itu jauh dari pengawasan publik dan aparat terkait.”

Bagi siapa saja yang terlibat kasus korupsi harus diusut tuntas. Ini demi me­negakan keadilan bagi ma­syarakat. Khususnya di BUMN harus ada pertanggungjawaban yang jelas soal kinerja mereka. Perlu pengawasan ketat dalam upaya memberantas korupsi. Itupun harus dilakukan bersama-sa­ma.

0 komentar:

Posting Komentar